Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×
Showing posts with label Pemikiran Islam. Show all posts
Showing posts with label Pemikiran Islam. Show all posts

Monday, November 18, 2013

PEMIKIRAN HAZAIRIN TENTANG HADIS

Al Yasa dalam disertasinya telah menyebutkan beberapa pemikiran Hazairin terhadap Hadis. Untuk lebih memudahkan, pemikiran beliau akan dibuat poin-poin sebagai berikut:
        1.      Hazairin berpendapat bahwa Rasulullah saw telah diberikan hak interpretasi berupa memberikan penjelasan dengan perkataan, perbuatan atau dengan yang lainnya. Kemudian beliau mengatakan bahwa interpretasi ini adalah hadis yang selanjutnya merupakan suplement bagi ketetapan Allah,[1] beliau telah menganggap hadis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Quran dan menjadi penjelas atau keterangan tambahan untuknya.
         2.      Dalam fungsinya hadis tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, baik bertentangan dengan arti zahir maupun dengan tafsir yang dihasilkan.[2]
3.      Lebih dari itu, menurut Hazairin, hadis mesti dibedakan antara yang bersifat umum dan bersifat sementara, yaitu yang diberikan Rasulullah dalam ketiadaan atau menunggu kedatangan wahyu. Tanda utama kesementaraan –disamping pernyataan yang ada dalam hadis itu sendiri- adalah pertentangan dengan Quran dan hasil tafsirnya tersebut. Hadis yang bersifat sementara bukanlah tafsir untuk Quran.[3]
4.      Hazairin berpendapat terdapat beberapa hadis yang perlu diabaikan karena ada beberapa hadis yang bertentangan dengan Quran itu sendiri dan tafsir. Khusus untuk hadis-hadis tentang kewarisan, beliau mengatakan bahwa hadis-hadis tentang kewarisan tidak ada yang memenuhi syarat, sehingga tidak bisa diikutsertakan dalam menafsirkan Quran. Mungkin hal inilah yang menyebabkan beliau memisahkan kajian hadis tentang kewarisan dalam bukunya, yaitu untuk menunjukkan kesementaraanya atau pertentangannya dengan Quran.[4]
5.      Dalam mengkaji hadis, Hazairin tidak pernah mempersoalkan sanad dari hadis yang dibicarakan dan juga tidak memberikan alasannya. Al Yasa dalam disertasinya menyebutkan bahwa hal tersebut mungkin dikarenakan 2 hal:
a.       Keshahihan sanad itu tidak penting, karena hadis itu sudah sering digunakan para ulama dalam mengistinbāṭkan hukum. Hazairin hanya ingin membuktikan bahwa kritik matan harus diberikan karena hadis-hadis tentang kewarisan itu tidak sejalan dengan Quran.
b.      Kekurangtahuan tentang ilmu-ilmu hadis, khususnya tentang kritik sanad. Dalam buku Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan Hadis, Hazairin banyak mengutip dari kitab Misykāt al-Masābih dan Nail al-Auṭār. Dalam buku yang terakhir ada uraian tentang sanad. Seandainya Hazairin mengutip pendapat tentang nilai sanad itu, tentu akan membantu pembaca yang mengetahui ilmu hadis.[5]


Ditulis Oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 19 November 2013

(bagi para pembaca sekalian yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai referensi/rujukan harap menuliskan nama penulis)


[1] Hazairin, Hukum Kewarisan bilateral menurut al-Quran dan Hadis, (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm 63.
[2] Ibid.
[3] Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Madzhab, (Jakarta : INIS, 1998), hlm 206.
[4] Ibid., hlm 29.
[5] Ibid., hlm 67.

Wednesday, July 24, 2013

POLIGAMI MENURUT AMINA WADUD


Amina Wadud menganggap bahwa perkawinan yang ideal dan lebih disukai adalah monogami. Karena dalam poligami menurut Amina Wadud, mustahil untuk mencapai cita-cita al-Quran berkenaan dengan hubungan mutualis dan membangun di antara mereka rasa cinta dan kasih sayang, ketika suami yang merangkap bapak terbagi di antara lebih dari satu keluarga. Dari pendapat Amina Wadud ini bisa diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya Amina Wadud lebih memilih monogami daripada poligami dalam kehidupan perkawinan yang “norma”.
1.      Tentang ayat poligami
Seperti halnya muslim yang lain, menurut Amina Wadud, satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami adalah Q.S. an-Nisa (4): 3, yaitu
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث و رباع
Ayat tersebut disayangkan oleh Amina Wadud, karena sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh kebanyakan orang, bahkan disalahpahami, terutama oleh mereka yang mendukung poligami, sehingga seakan-akan seseorang dibolehkan begitu saja melakukan poligami tanpa memperhatikan bagaimana konteks ketika turunnya ayat.
Dalam al-Quran maupun keseharian Nabi saw, memelihara anak yatim atau anak yang terlantar selalu mendapatkan perhatian yang besar dan dianggap sangat penting. Perhatikan Q.S. al-Ma’un ayat 1-3 berikut ini:
أرئيت الذي يكذب بالدين  فذلك الذي يدع اليتيم ولا يحض علي طعام المسكين
Ayat diatas merupakan sindiran terhadap orang-orang yang tidak mau memperhatikan nasib dan hak-hak anak yatim dan orang miskin. Bahkan al-Quran menyebutkan mereka sebagai “pendusta agama”. Izin poligami dalam al-Quran, dalam pandangan Amina Wadud, sesungguhnya berkaitan erat dengan masalah ini.
Menurut Ibnu Katsir, sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan seseorang yang hendak menikahi perempuan yatim, tetapi ia khawatir tidak dapat berlaku adil. Ibnu Katsir mengutip hadis yang diuraikan ‘Aisyah ketika ditanya tentang sebab turunnya ayat an-nisa:3.[1]
أخبرني عروة بن الزبير أنه سأل عائشة عن قول الله تعالى { وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى } قالت: يا ابن أختي  هذه اليتيمة تكون في حجر وليها تَشْرَكه  في ماله ويعجبُه مالها وجمالها، فيريد وليها أن يتزوجها بغير أن يَقْسِط في صداقها فيعطيها مثل ما يعطيها غيره، فنهوا أن ينكحوهن إلا أن يقسطوا لهن، ويبلغُوا بهنَّ أعلى سُنتهنَّ في الصداق
‘Urwah bin az-Zubair mengabari aku bahwa ia pernah bertanya kepada kepada ‘Aisyah tentang ayat “wa in khiftum alla tuqsithu fi al-yatama”. Aisyah menjawab: “Wahai anak saudaraku, perempuan yatim yang berada dalam pengampuan wali ini bersyarikat hartanya, lalu wali itu takjub akan kekayaan dan kecantikannya, kemudian ia hendak menikahonya karena terpesona dengan harta dan kecantikannya dengan memberikan mahar tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, mereka dilarang untuk menikahinya kecuali mampu berbuat adil dan menyempurnakan (melengkapi) maharnya.”
Menurut Amina Wadud, ayat di atas berbicara tentang perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki, yang bertanggung jawab mengelola kekayaan anak-anak yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam mengelola harta anak yatim. Sesuai firman Allah swt:
وآتوا اليتامى أَموالهم ولا تتدلوا الخبيث بالطيب ولا تأكلوا أموالهم إلى أَموالكم إنه كان حوبا كبيرا[2]
Dengan demikian, menurut Amina Wadud, satu solusi yang dianjurkan untuk mencegah salah kelola adalah dengan mengawini anak yatim tersebut. Pada satu sisi, al-Quran membatasi jumlah istri yang dipoligami sampai empat perempuan. Di sisi lain, tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi istri akan sejajar dengan akses ke harta perempuan yatim melalui tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan pendukung poligami jarang membicarakan poligami dalam konteks merawat anak-anak yatim.
2.      Keadilan sebagai syarat poligami
Bagi para pendukung poligami, satu-satunya ukuran keadilan diantara istri-istri adalah materi. Dapatkah seorang laki-laki secara adil menafkahi lebih dari satu istri? Hal ini merupakan perpanjangan dari gagasan kuno tentang perkawinan untuk penundukan. Keadilan dalam perkawinan untuk penundukan pada masa turunya wahyu didasarkan pada kebutuhan perempuan untuk diberi nafkah materi oleh laki-laki. Laki-laki yang ideal untuk seorang anak perempuan adalah ayahnya, dan untuk anak perempuan dewasa adalah suaminya.
Menurut Amina Wadud, keadilan harus didasarkan pada kualitas waktu dan kesamaan dalam hal kasih sayang, atau pada dukungan spiritual, moral dan intelektual. Berbagai pengertian umum tentang keadilan sosial ini harus dipertimbangkan sebagai bagian dari perlakuan adil terhadap para istri. Jadi, Q.S. an-Nisa(4) ayat 3 berbicara tenntang poligami dengan penekanan syarat keadlian, yaitu berlaku adil, mengelola dana secara adil, adil kepada anak-anak yatim, adil kepada istri-istri dan sebagainya. Keadilan merupakan fokus dari mayoritas tafsir modern tentang poligami.
Dengan mengacu pada firman Allah swt:
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء
Amina Wadud sepakat dengan banyak mufassir yang menegaskan bahwa monogami adalah tatanan perkawinan yang lebih disukai oleh al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan sebagai syarat poligami, dalam pandangan Amina Wadud adalah sulit tercapai, bahkan mungkin mustahil untuk bisa dilaksanakan. Karena ayat diatas dengan tegas mengatakan bahwa manusia tidak akan mampu berbuat adil terhadap para istri, meskipun ia memiliki keinginan yang menggebu untuk berbuat adil.
3.      Tiga pembenaran umum dalam poligami
Berkaitan dengan tiga pembenaran yang selama ini dijadikan alasan untuk memperbolehkan melakukan poligami, menurut Amina Wadud tidak ada dukungan langsung dari al-Quran. Tiga pembenaran umum terhadap poligami tersebut adalah finansial, perempuan mandul dan pengendalian nafsu.
Pertama, alasan finansial. Dalam konteks problem ekonomi seperti pengangguran, seorang laki-laki yang mampu secara finansial harus membiayai lebih dari satu istri. Pola pikir ini mengasumsikan bahwa semua perempuan adalah beban finansial; pelaku reproduksi tapi bukan produsen. Di dunia zaman sekarang, banyak perempuan yang tidak mendapatkan maupun membutuhkan nafkah laki-laki.
Perlu diperhatikan, dewasa ini, asumsi bahwa hanya laki-laki yang bisa bekerja atau menjadi pekerja paling produktif di semua keadaan, sudah tidak bisa lagi diterima. Mengenai kerja diluar rumah, yaitu pekerjaan dengan sistem gaji, pasarnya adalah berdasarkan pada produktivitas, untuk selanjutnya didasarkan pada sejumlah faktor, dan jenis kelamin hanyalah salah satunya. Oleh karena itu, menurut Amina Wadud, poligami bukanlah solusi mudah bagi permasalahan perekonomian yang kompleks.
Kedua, alasan perempuan mandul. Dalam al-Quran tidak ada penjelasan tentang hal ini sebagai alasan untuk berpoligami, sedangkan hasrat untuk mempunyai anak memang hal alami. Jadi kemandulan laki-laki dan kemandulan perempuan seharusnya tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menikah maupun untuk mengurus dan mendidik anak.
Amina Wadud mencoba memberikan solusi berkenaan dengan pasangan yang salah satu dari mereka atau kedua-duanya mandul sehingga pasangan ini tidak memiliki anak. Menurutnya, didunia yang sedang perang dan porak poranda, masih terdapat anak-anak yatim muslim (dan non-muslim) yang menantikan uluran cinta dan perawatan dari pasangan suami istri yang tidak memiliki anak. Barang kali, perawatan seluruh anak di dunia ini dapat menjadi agenda kaum muslim mengingat bencana dunia yang masih belum terselesaikan.hubungan darah sendiri memang penting, tapi mungkin menjadi tidak penting kalau dilihat dari segi penilaian akhir tentang kemampuan seseorang untuk merawat dan mengasuh anak.
Ketiga, pengendalian hawa nafsu. Menurut Amina Wadud, selain tidak mempunyai sandaran dalam al-Quran, juga jelas-jelas tidak Qurani karena berusaha menyetujui nafsu laki-laki yang tidak terkendali. Jika kebutuhan seksual seorang laki-laki tidak dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus mempunyai dua. Jika nafsunya juga belum terpenuhi dengan dua istri, maka dia harus mempunyai tiga hingga empat istri. Baru setelah empat istri, prinsip al-Quran tentang pengendailan diri, kesederhanaan dan kesetiaan dijalankan.
Karena pengendalian diri dan kesetiaan sejak awal telah disyaratkan kepada istri, maka kebajikan-kebajikan moral ini juga penting bagi suami. Al-Quran tidak menekankan suatu tingkatan yang tinggi dan beradab kepada perempuan sembari membiarkan laki-laki berinteraksi dengan manusia lain pada tingkat yang paling rendah. Jika tidak demikian, maka tangung jawab bersama atas khilafah akan diserahkan kepada separuh umat manusia, sedangkan separuhnya lagi masih dekat dengan kondisi binatang.

Ditulis oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 25 Juli 2013

(Bagi para pembaca yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan harap menyertakan nama penulis).

[1] Ibu fida’ al-hafiz ibnu katsir, tafsir al-qur’an al-‘adlim, (beirut: dar al-fikr, 1430 H/2009 M), I:407.
[2] Q.S. an-Nisa’(4):2.

Saturday, July 20, 2013

PEMIKIRAN SYEKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI DAN GERAKAN KRITIK HADIS MODERN

Pemikiran Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani  dan Gerakan Kritik Hadits Modern



Dunia keilmuan hadits oleh sebagian kalangan intelektual dianggap sebagai wilayah yang sudah tua, tidak berkembang, bahkan dikatakan sudah mati. Hal itu dikarenakan adanya stereotip yang dilekatkan pada kajian ini menyangkut otoritas hadits Nabi Saw . yang dianggap sudah mapan dan generasi sesudahnya tidak bisa lagi ikut menganalisa terutama dalam proses tashhih wa tadh’if atau verifikasi suatu hadits untuk menentukan nilai keshahihan atau kelemahannya. Demikian diletupkan oleh Ibnu Shalah yang berpendapat bahwa proses tahshih wa tadh’if adalah hak prerogatif dari para ulama kritikus hadits periode mutaqaddimin (terdahulu), tidak untuk  muta’akhirin (belakangan) dan  berakhir pada  pertengahan abad ke-5 H. Ibnu Shalah merekomendasikan para ulama dan umat  setelah masa itu agar mengambil hadis dari karangan-karangan  yang terkumpul di dalamnya hadis-hadis shahih seperti Shahih Bukhari dan Muslim, Mustadrak 'ala Shahihain Hakim al-Nisaburi, Shahih Ibnu Hibban, dan atau Shahih Ibnu Huzaimah.

Namun hemat Al-Albani, sebagaimana para pendahulunya sesudah era Ibnu Shalah -seperti Ibnu Katsir, al-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-Asqalani-, hasil kerja-ijtihad para ulama mutaqaddimin memang patut diapresiasi namun tidak bisa dilepaskan dari adanya beragam kesalahan dikarenakan standar kesalahan, baik dalam matan maupun sanad akan bertambah sejalan dengan alur sejarah. Maka keniscayaan untuk melakukan studi ulang atas karya para ulama klasik itu.  Pun kondisi riil umat Islam yang sering menggunakan hadits tanpa mengetahui asal-usul dan statusnya. Parahnya, hal itu juga dilakukan oleh para ulama yang sering menggunakan hadits hanya sekedar mencantumkan dan mengaburkan atau menghilangkan catatan kaki alias plagiat disebabkan minimnya pengetahuan mereka akan hadits Nabi Saw. Demikian ketika ia mengkritik riwayat-riwayat dari al-Waqidi yang dijadikan referensi dalam buku Fiqh Sirah oleh Said Ramadhan al-Buthi. Faktor lain adalah kurangnya pengetahuan dan perhatian umat akan hadits Nabi Saw., serta kecenderungan terlalu memporsikan kajian fikih. Maka al-Albani heran ketika seorang ulama pengasuh rubrik di suatu majalah Islam ditanya pembacanya, apakah nanti di hari akhir binatang juga termasuk makhluk yang dibangkitkan?  Pengasuh rubrik itupun menjawab “tidak” dengan mendasarkan pada pendapat Imam al-Alusi dalam tafsirnya, ‘Ruhul Ma’aniy”. Segera ia membenarkan dengan mendatangkan  sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra. dalam Shahih Muslim (6532), “Di hari kiamat kelak, setiap hak akan diberikan pada ahlinya (orang yang punya hak), sampai hak seekor kambing yang tidak bertanduk diambilkan dari kambing yang bertanduk.

Sosok Al-Albani dan pemikirannya sebagai bahasan dalam tulisan ringkas ini adalah salah satu ulama kritikus hadits modern, di mana hasil ijtihadnya mengenai status suatu hadits sering dijadikan referensi oleh banyak kaum muslim dan dianggap reperesentatif oleh sebagian umat Islam, jika hasil verifikasi itu datang darinya. Namun kritik juga banyak dialamatkan padanya oleh sebagian kalangan. Siapakah Al-Albani? Metodologi apa yang ia gunakan dan apa implikasinya bagi kajian hadits selama ini?         

Al-Albani dilahirkan di kota Ashkodera, ibukota Albania pada tahun 1914. Namun ia kebanyakan menghabiskan masa mudanya di Damaskus, Siria. Sekitar umur 20 tahun ia menyelesaikan karyanya yang pertama tentang hadits dengan menulis komentar atas kitab al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya min al-Akhbar karya al-Iraqi, berupa kajian verifikatif  terhadap hadits-hadits dalam kitab Ihya’ Ulumudin-nya Imam al-Ghazali. Selanjutnya ia belajar secara otodidak terutama dengan banyak kitab dan manuskrip di perpustakaan Zhahiriyah di Damaskus. Di mana kita ketahui, Damaskus adalah salah satu kota poros keilmuan Hadits dengan Madrasah hadits Zhahiriyah dan Asyrafiyah-nya. Sekitar tahun 1960an ia diminta mengajar oleh koleganya, Abdulah bin Baz, di Universitas Islam Madinah dan diangkat menjadi gurubesar kajian Hadits di sana. Ia termasuk orang yang memprakarsai kajian kritik sanad sebagai matakuliah independen pada Departemen Hadits. Untuk karya, ia kurang lebih telah menghasilkan sekitar 117 buku, baik berbentuk catatan kritikal filologis atas berbagai manuskrip serta kitab turats atau berbentuk karya independen. Di antaranya; Hijab al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitab wa al-Sunnah dan Silsilah al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa al-Mawdhu’ah wa atsaruha as-Syai’ fi al-Ummah (kumpulan hadits dha’if dan palsu). Dalam karya-karyanya itu, ia  telah mengidentifikasi kurang lebih 990 hadits yang diangap autentik  oleh kebanyakan ulama Muslim, namun olehnya dianggap lemah. Maka ia pun menuai kritik dari berbagai kalangan, di antaranya dari Hasan bin Ali as-Saqaf yang menulis Tanaqudhat  al-Albani al-Wadhihat, juga Ramadhan al-Buthi yang menulis al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’atin  Tuhaddidu asy-Syar’iah al-Islamiyyah. Dari perspektif mazhab fikih, al-Albani cenderung kepada mazhab Hanbali, demikian ketika ia memverifikasi kitab hadits hukum mazhab Hanbali, Irwau'l Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar al-Sabil, meski ayahnya sendiri, Haji Muhammad Nuh adalah seorang penganut mazhab Hanafi tulen. Ia meninggal pada 2 Oktober 1999 (1420 H), di mana sebelumnya dunia Islam juga kehilangan ulama besar lainnya yaitu Syekh Abdulah bin Baz dan Syekh Muhammad al-Ghazali, kemudian disusul oleh Syekh Muhammad Shalih bin al-Utsaimin.

       Sebenarnya tidak ada yang baru dalam metode yang digunakan oleh al-Albani untuk menentukan  autentitas dan kepalsuan sebuah hadits. Ia juga tetap berpegang pada metode yang telah digunakan oleh para ulama kritikus hadits pendahulunya yaitu dengan tetap berpegang pada analisa isnad, lalu mengacu dan menggunakan informasi-informasi yang  ada dalam kitab-kitab biografi (tarajum) para rawi. Ia tetap setia memakai metode takhrij, yaitu memperlihatkan kepada orang lain sumber munculnya hadits dengan menyebutkan silsilah perawinya secara lengkap.  

            Takhrij, menurut Abdul Muhdi Abdul Hadi (2006), secara terminologi, dalam sejarah keilmuan hadits mengalami tiga fase. Pertama, takhrij hanya menyebutkan hadits lengkap dengan sanadnya, kemudian seorang mukharrij (perawi terakhir- seperti Bukhari dan Muslim) hanya memberikan komentar sekedarnya atas keadaan sanad, bahkan terkadang mengkritik matannya. Fase selanjutnya, seorang mukharrij di samping menyebutkan sanad hadits secara lengkap, juga berusaha menyebutkan sanad lain sebagai penguat bagi hadits pertama. Pada fase ketiga, setelah seluruh hadits dikodifikasikan, maka takhrij hanya dimaksudkan mengembalikan hadits-hadits kepada sumber-sumber aslinya. Takhrij bagi al-Albani di samping mengembalikan hadits kepada sumber aslinya,  juga menyertakan penilaian atas hadits tersebut dan meneliti setiap pendapat ulama mengenai perawinya sehingga akhirnya dapat melakukan sebuah tarjih dari sekian banyak komentar ulama atas keadaan sebuah hadits baik dari segi sanad maupun matannya.

             Ketika mempraktikan metode ini, al-Albani tetap memegang prinsip keotentikan hadits-hadits yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim sebagai kitab kedua yang paling absah dan shahih setelah al-Quran. Sehingga ketika men-takhrij hadits-hadits kedua kitab itu, ia hanya menyebutkan letak dan nomor urutnya tanpa memberikan komentar  mendetail. Cukup ia menuliskan ungkapan semisal; "shahih, rawahu as-Syaikhani", "shahih, rawahu al-Bukhari" atau “rawahu Muslim", meski sebagian perawinya ada yang lemah. Demikian menegaskan akan keshahihan hadits-hadits dalam dua kitab kanonik tersebut. Berbeda ketika ia menganalisa  hadits-hadits dalam kitab sunan, semisal Sunan an-Nasaiy, Abi Dawud, Tirmidzi, dan kitab hadits lain seperti Mustadrak al-Hakim, Shahih Ibnu Hibban, atau Shahih Ibnu Huzaimah; di mana ia harus memberikan penilaian shahih, hasan atau dha’if setelah meneliti isnad-nya. Jika dalam sanadnya terdapat perawi yang tsiqah (terpercaya), maka al-Albani tidak banyak memberikan komentar, namun lebih mencukupkan komentar beberapa ulama. Akan tapi, jika salah satu perawinya diperdebatkan oleh para kritikus, maka terlebih dahulu ia menyalin seluruh komentar tersebut dan membandingkannya sesuai dengan kaidah Jarh wa Ta'dil (kajian rawi untuk menentukan diterima-tolak riwayatnya) untuk selanjutnya melakukan tarjih atas sanad tersebut. Karena menurutnya, meski kitab-kitab hadits itu sudah diklaim berisikan hadits-hadits yang shahih, namun masih banyak didapati hadits-hadits hasan, bahkan dha’if yang memerlukan penelitian lanjutan. Hasilnya, ia dapati  dalam Sunan Abi Dawud  hadits yang terkategori dha’if berjumlah 561 (Dha’if Sunan Abi Dawud) dan yang shahih 2.393 hadits (Shahih Sunan Abi Dawud).

             Dalam proses verifikasi, untuk kritik sanad ia menggunakan beberapa istilah Jarh wa al-Ta’dil yang dominan ia gunakan, di antaranya: (1) tsiqah untuk menunjukan hadits tersebut memiliki sanad dan penuhi kriteria hadits shahih; (2) shaduq atau jayyid (benar-baik) untuk kategori hadits hasan; (3) lam a'rifhu atau majhul (tidak terdeteksi) di gunakan ketika ia tidak mengetahui keadaan seorang rawi, apakah termasuk kategori tsiqah atau jayyid; (4) dha’if atau wahin untuk kategori hadits yang lemah sekali dan termasuk kategori hadits dha’if; (5) kadzdzab (pendusta) untuk kategori hadits maudhu’ (palsu) dan tidak dapat dijadikan landasan hukum. (Hamdani P., 2006)  

            Proses tarjih yang biasa ia lakukan terkait jika satu sanad hadits menuai perdebatan para ulama, dalam hal ini yang terpenting baginya adalah banyaknya sanad. Jika suatu sanad miliki perawi dha’if, ia tidak serta merta menilai dhaif. Tapi berusaha mencari sanad lain yang meriwayatkan hadits yang sama. Sebab jika memiliki silsilah perawi yang berbeda, kedhai’fannya -sebagaimana kesepakatan para ulama- bisa terangkat masuk  kategori hasan li-ghairihi yang dapat dijadikan argumen. Metode di atas bukannya tanpa syarat dan tidak sepenuhnya  hadits tersebut bisa diterima, akan tapi harus diperhatikan tingkat kelemahan yang dimiliki masing-masing silsilah sanad  sebuah hadits. Jika perawinya dinilai pendusta, meski terdapat  hadits penguat lain, tetap hadits tersebut tidak dapat diterima. Namun jika si perawi dinilai sekedar hafalannya kurang, ia bisa berubah  dari hadits dha’if menjadi hasan li-ghairihi jika memiliki sanad  lebih dari satu (Sulaiman Ayub, 2005). Ia juga biasa mendahulukan lafal tajrih daripada ta’dil, jika para kritikus mengomentari seorang perawi, meski tidak selamanya ia praktikan. Sebab baginya, diperlukan analisa yang mendalam terhadap  menu biografi para rawi yang ada dan komentar-komentar kritis terhadapnya, sehingga terlihat obyektif.

          Sedang untuk kritik matan, tidak berbeda dengan para pendahulunya, ia mensyaratkan beberapa di antaranya; (a) matan suatu hadits harus terhindar dari kelemahan susunan  kata dan lafalnya. Semisal didapati  kesalahan penggunaan kaidah gramatikal atau kosakatanya dinilai lemah. Di mana hal itu dapat menjadi indikator untuk melacak keabsahan hadits; (b) terhindarnya matan hadits dari kerancuan (syadzdz) akibat munculnya matan sanad lain yang  lebih kuat dari sanad yang pertama. Atau didapati dalam sanad suatu kecacatan  (‘illat)  akibat tercampurnya sabda Rasul Saw. dengan perkataan orang lain yang dapat menurunkan kualitas hadits: (c) hadits yang memiliki sanad yang lemah  tidak serta merta mengindikasikan matannya juga lemah. Sebab tidak jarang didapati hadits yang substansinya tidak menyalahi ajaran Islam, dianjurkan oleh al-Qur’an juga riwayat shahih, namun diriwayatkan oleh seorang perawi yang dinilai lemah oleh para kritikus hadits. Maka harus diusahakan pencarian sanad lain yang memiliki perawi yang kuat dan otomatis akan menguatkan hadits tersebut.

         Hasil kerja ijtihadiy al-Albani yang tersebar, hemat penulis berimplikasi pada berubahnya peta keilmuan hadits (dirayah dan riwayah) yang selama ini telah mapan kurang lebih 12 kurun. Ia dinilai sebagai pionir gerakan kritik hadits modern. Banyak ulama seperti Sayyid Sabiq, Yusuf al-Qaradhawi, dan Muhammad al-Ghazali memintanya secara langsung untuk  memverifikasi hadits-hadits yang tersebar dalam buku-buku mereka. Meski kadang al-Albani terlihat tidak konsisten dalam metodologi yang  digunakan, seperti ketika ia melemahkan  riwayat Abu az-Zubair dari Jabir tentang larangan kurban seekor domba yang berumur satu tahun (al-jadza’ min adh-dha’ni), kecuali dalam keadaan ketika seekor sapi yang cukup umur terlalu mahal atau sulit didapatkan di pasar (HR. Muslim, 5038). Ia menilai sanad ini tidak bersambung karena az-Zubair tidak secara langsung mendengar dari Jabir ra. dan menggunakan lafal ’an (atas otoritas dari). Pun para kritikus menilai Abu az-Zubair sebagai mudallis (penipu). Al-Albani mengatakan telah disepakati dalam ilmu hadits bahwa perawi mudallis haditsnya tidak dapat dijadikan argumen, apabila dia tidak menyatakan secara eksplisit (seperti lafal ‘an) untuk cara penerimaan haditsnya. Berbeda ketika seorang mudallis menyebutkan secara eksplisit (seperti sami’tu (aku mendengar)), maka haditsnya -hemat al-Albani-, bisa diterima. Namun tambah al-Albani, tidak diragukan jika riwayat Abu az-Zubair dari Jabir diriwayatkan oleh Laits bin Sa’ad yang telah mengklaim menerima dari az-Zubair, hanya hadits yang telah didengar oleh az-Zubair dari Jabir. Masalahnya, dari 960 hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, 360 lainnya diriwayatkan lebih lanjut oleh az-Zubair yang terekam dan tersebar pada kutub as-sittah.  Dan Imam Muslim merekam 194 hadits, dengan jalur az-Zubair-Jabir, di mana yang menggunakan lafal sami’a dan lafal serupa yang menunjukan periwayatan langsung sebanyak 69 kali, dan istilah ‘an sebanyak 125 kali. (K. Amin, 2009).  Dengan ini konsekuensinya, apakah 124 hadits lainnya dari az-Zubair-Jabir juga harus ditolak atau ditunda kehujahannya?

        Dalam biografinya “Hayat al-Albani, Atsaruhu wa Tsana’ ‘Ulama ‘Alaihi” setebal 2 jilid oleh M. Ibrahim Syaibani dan banyak tercermin dalam pengantar untuk karya-karyanya, al-Albani mengaku sangat menghargai budaya  kritik (naqd) –bahkan terhadap ayah dan koleganya sendiri- dalam dunia  ilmu,  dikarenakan manusia tak bisa dilepaskan dari adanya kesalahan. Ia sangat mengedepankan toleransi serta menjauhkan diri dari fanatisme mazhab, maka  ia sering mengkritik kalangan yang menjadikan hadits sebagai justifikasi bagi aliran-mazhabnya tanpa mengadakan verifikasi lebih jauh sehingga akan berimplikasi buruk bagi bangunan hadits Nabi Saw. yang menjadi sumber hukum syariat  Islam. Wallahu a’lam bis-shawwab.






MEMBELA ABU HURAIRAH RA;

  
Membela Abu Hurairah ra.;
Antara Orientalis dan Semi-Orientalis



Sunnah, Sahabat dan Orientalisme

 Sunnah merupakan inteprestasi praksis(at-tafsîr al-‘amalîy) atas Quran. Di samping ia juga merupakan inplementasi riil(al-tathbiq al-waqi’iy) dan ideal(al-mitsaliy) dari Islam. Nabi saw. merupakan penafsir(interpreter) Quran dan simbol Islam. Hal ini telah diketahui oleh isteri beliau tercinta, Aisyah ra. Dengan kedalaman pemahaman, kecerdasan dan interaksinya dengan Nabi saw. Ketika ia ditanya tentang akhlak Rasul saw., ia menjawab; "Kana khuluquhu al-Quran".

            Sedang sahabat sebagai orang yang pernah berkutat dan bersinggungan dengan Nabi saw. memiliki peran penting sebagai periwayat pertama, pembawa syariat, atau memberitakan segala hal yang ia peroleh dari Nabi saw. kepada orang-orang setelah mereka. Dan tidak semua sahabat sama derajat keilmuannya perihal apa yang dinukil dari Nabi saw. Ada yang kesehariannya melayani Nabi saw.; seperti Anas bin Malik ra. dan Abu Hurairah ra., juga mereka yang jauh tempat tinggalnya dengan kediaman Nabi saw., namun tetap aktif menghadiri majelis keilmuan yang diadakan oleh Rasul. Tetapi Jumhur Ulama bersepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil(‘udûl), baik itu mereka yang pernah bersinggungan dengan fitnah politik maupun tidak.

            Lalu apa hubungannya dua hal di atas dengan orientalisme? Orientalisme(al-istisyraq) sebagai lawan dari Oksidentalisme(al-Istighrab)-diskursus timbal balik yang digagas Hasan Hanafi- merupakan studi ketimuran yang mencakup bahasa, sastra, peradaban, dan agamanya. Hemat penulis, menyimpul dari definisi Edward Said, orientalisme adalah droping bangsa asing terhadap Timur dengan ambisi menghegemoni bangsa Timur. Tidak diketahui secara pasti, siapa ilmuwan barat pertama yang memberikan perhatian pada studi ini juga tentang limit waktunya. Ditenggarai sebagian pendeta Barat banyak yang pergi belajar ke Andalusia pada masa keemasannya. Dan Jerbert adalah alumnus Andalusia yang kemudian menduduki tahta Paus di Vatikan pada 999 M. Ia menguasai bahasa Arab, matematika dan astronomi. Langkah Jerbert ini disusul dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya hingga sekarang ini(as-Siba’i:1999:15-16).

            Selanjutnya, evolusi, motif, serta piranti orientalisme dapat kita simpulkan sejalan dengan periodesasi peradaban Kristen-Barat. Terutama meletusnya perang Salib(crusaide), renaissance Eropa pada abad 15-16, hingga imperialisme Barat ke Dunia Ketiga(abad 17 hingga awal 20). Motifnya pun bermacam, mulai dari agama(harmonisasi antara Kristenisasi dengan orientalisme), riset ilmiah murni, ekonomi, juga tak lepas dari kepentingan imperialis-kolonialisme. Yang akhirnya mengerucut orientasi utamanya pada studi ke-Islaman (Islamic Studies). Seperti yang diakui oleh Pierrela, orientalis pertama Eropa yang menerjemahkan Quran dengan tujuan meragukan umat Islam terhadap agama mereka sendiri. Pernyataan Pierrela diamini oleh Johan Fuck(orientalis Jerman). "Akhirnya (Pierrela) berkeyakinan bahwa tidak ada jalan lain untuk melawan bid’ah(heretic) ‘Muhammad’ dengan menggunakan senjata buta, tapi harus disangkal(disanggah) lewat kekuatan ‘kata’ dengan menggunakan alasan-alasan rasional demi meraih kecintaan umat Masehi. Namun sebelum itu harus(terlebih dahulu) mengetahui pendapat(keilmuan) musuh. Demikianlah rencana Pierrela dalam menerjemahkan Quran"(Jurnal ar-Risalah:vol.12,9/2005,77). Maka berangsur-angsur munculah nama-nama orientalis(mustasyriq) semacam A.J Arberry, Baron Carra de Vaux, HA. R.Gibb, S. Zweimer(orientalis sekaligus misionaris), Ignaz Goldziher, J.Schacht, dan A.J. Wensinck. Tiga nama terkahir sangat berkaitan dan populer dalam kajian Hadis Nabi saw. Mereka pun mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat, selain menerbitkan buku dan jurnal kajian keislaman seperti ‘Islamic World.

            Sisi lainnya, tentu kita tak bisa menampik kontribursi positif dari hasil kajian para orientalis ini seperti Mu’jam al-Mafahras Li Alfazh al Hadis al Syarif oleh Wensinck dkk. Sebuah literatur ensikopedia yang mencakup kitab hadis enam yang terkenal itu(kutub as-Sittah al-Masyhurah). Ditambah dengan Musnad al-Darimi, al-Muwaththa’ Imam Malik, dan al-Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Artinya, dalam tataran objektivitas studi yang mereka lakukan atas khazanah keislaman dapatlah kita terima, meski tidak memuaskan. Tapi kita sebagai umat Islam harus selalu memiliki jiwa kritis-objektif sehingga tidak mudah terjebak dan tertipu dalam pengagungan yang menjebak dan nilai-nilai ilmiah konstruktif yang menipu. Sesuai dengan adagium yang kerap didengungkan, "al-hikmah dhallatu’l muslim anna wajadah akhdzaha." Hikmah itu adalah mutiara yang hilang dari setiap individu Muslim. Maka, dimana(dan darimana)pun ia datang, ia berhak untuk memungutnya kembali.

            Berkaitan dengan bahasan kita kali ini, disamping kontribusi positif di atas, para orientalis juga banyak yang melakukan hal-hal yang tidak benar seputar hadis Nabi saw. Dapat dipahami , karena satu garapan dari orientalisme adalah pribadi Nabi saw. Mau tidak mau, menyerang atas diri dan sunnah Nabi saw. harus dilakukan. Termasuk di dalamnya para sahabat dan tokoh hadis seperti Abu Hurairah ra. dan Imam az-Zuhri.. Sebab para orientalis mengetahui bahwa fondasi entitas umat Islam dan agama mereka adalah Quran dan Sunnah.

            Goldziher (Orientalis Yahudi Hongaria) dalam "Muhammedanische Studien", secara eksplisit menyimpulkan bahwa Hadis Nabi saw. tidak ada atau muncul pada masa kenabian. Namun baru muncul pada abad ke-I dan 2 H yang lahir dari dialektika religius, politik, dan sosial waktu itu. (as-Siba’i:1998:183-187). Dr. Musthafa As-Sibai mencounter pendapat Goldziher tersebut dalam bukunya as-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami dengan mengatakan: "Kita tidak tahu mengapa dia sebegitu berani mengatakan hal tersebut. Sementara periwayatan-periwayatan valid(al-nuqul al-tsabithah) tidak membenarkan hal itu. Padahal sebelum Rasul saw. mangkat, beliau telah meletakkan dasar bangunan Islam secara sempurna berdasar apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya dan apa yang telah beliau gariskan dalam sunahnya: syariat-syariat serta hukum-hukum yang sempurna. Beliau bersabda: "Aku telah meninggalkan untuk kalian dua hal. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Quran) dan Sunahku (Hadis)." Sabda lainnya:"Laqad taraktum ‘ala al-hanafiyyah al-samhah, lailuha kanahariha"(Aku telah meninggalkan kalian dalam agama yang kokoh dan toleran). Sebagaimana juga ayat Quran yang terakhir surat al Ma’idah ayat 3 tentang kesempurnaan agama ini. Artinya, Rasul wafat ketika Islam itu telah matang(dewasa) secara sempurna bukan lagi ‘anak-anak’ sebagaimana yang dikatakan oleh orientalis ini( Goldziher). Memang karena perluasan daerah Islam, para pembuat hukum Islam menghadapi berbagai perkara parsialistik serta kasus-kasus yang(sebagiannya) tidak memiliki nash dalam Quran dan Sunnah. Namun mereka mengfungsikan nalar(rasio) mereka melalui metode analogi(qiyas) dan istinbath(mengeluarkan dan mengambil hukum dari sumbernya) sehingga mereka bisa menentukan hukum-hukum yang ada. Dalam hal ini mereka tidak keluar dari frame Islam dan ajaran-ajarannya. Cukuplah anda mengetahui masa kematangan(nudhuj) Islam itu pada masa awalnya. Dimana Umar ra. mampu menguasai Imperium Persi(Kisra). Imperium tersbut sebelumnya telah mempunyai peradaban yang besar, namun Umar mampu untuk mengatur dan mempertahankannya. Memerintah rakyatnya secara adil, lebih adil dibandingkan dengan pemerintahan Kisra sebelumnya. Tidakkah anda tahu seandainya Islam itu masih kanak-kanak(kecil) bagaimana mungkin Umar mampu bangkit dan memikul beban berat semacam ini.(Ibid., 180). Kongklusinya, periwayatan hadis tidaklah timbul dari intrik-intrik politik yang ada.

            Sedang Joseph Schacht (orientalis Jerman), mengatakan bahwa isnad adalah bagian dari ‘tindakan sewenang-wenang’ dalam hadis Nabi saw. Hadis-hadis itu sendiri dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda yang ingin mengaitkan teori-teorinya kepada tokoh-tokoh terdahulu.(MM. A’zami: 1978:534). Untuk sanggahan terhadap mereka bisa dibaca lebih pada karya-karya MM. A’zami, dalam "Dirasah fi al-Hadis an-Nabawi atau Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya." Terjemah oleh Ali Mustafa Yakub, pustaka Firdaus, Jakarta 2000. Tema lain yang penting yang sering ditembak oleh para orientalis adalah tentang pemalsuan hadis (al-wadhu’ fi al-Hadis). Mungkin di lain kesempatan kita bisa membahasnya.

            Yang patut disayangkan, sebagian cendekiawan muslim banyak yang terpengaruh oleh pemikiran Orientalis yang tendensius ini, mengambilnya dengan tanpa memfilternya. Seperti Ahmad Amin dalam Fajr al-Islam dan Dhuha al-Islam yang terang-terangan menukil Goldziher. Juga Muhammad Abu Rayyah yang disebut Dr. Musthafa Sibai sebagai semi-orientalis, terutama dalam bukunya yang berjudul Adhwa’ ‘Ala as-Sunnah al-Muhammadiyah . Selain itu ada juga semi-orientalis lain yang khusus mencela dan menuduh yang bukan-bukan terhadap Abu Hurairah, yaitu Abdul Husain Syaraf ad-Diin dalam bukunya ‘Abu Hurairah’. Kemudian segera dibantah dan diklarifikasi oleh Dr. ‘Ajaj Khatib dengan bukunya, ‘Abu Hurairah Rawiyah al-Islam.’

"Tarjamah" atau Biografi Abu Hurairah ra.(19 SH-57 H)

Banyak riwayat yang berselisih tentang namanya dan nama ayahnya hingga mencapai 30 riwayat sebagaimana terekam dalam al-Isabah Ibnu Hajar al-Asqalani dan Siyar A’lam Nubala-nya Imam Dzahabi. Tetapi pemulis lebih condong memilih riwayat dari Ibnu Ishak dalam "al-Maghazi" dari pengakuan Abu Hurairah ra. sendiri. Namanya ketika jahiliyah adalah Abdu Syams bin Sakhr. Setelah masuk Islam, Rasul saw. menamainya Abdurrahman dan menjulukinya Abu Hurairah sebab ia menemukan seekor kucing kemudian membawa dan mendekap dengan lengan bajunya(kummi). Asalnya adalah Yaman(Hadramaut, Arab selatan) dari kabilah al-Dausi dan masuk Islam dihadapan Thufail bin ‘Amru. Berangkat hijrah dan sampai ke Madinah pada tahun 7 H, tepat beberapa saat sebelum Perang Khaibar(Muharram 7 H). Kemudian menjadi pelayan Nabi dan menemaninya sehari-hari selama 4 tahun. Terhitung 4 tahun sebab Nabi saw. meninggal pada 12 Rabi’ul awwal 11 H/8 Juni 632 M. (mengacu pada Dr.‘Ajaj Khatib:2004:430). Nabi saw. pun mendoakannya agar ia selalu hafal hadis-hadis yang diterimanya dari beliau(Shahih al-Bukhari:kitab al-‘ilm:42)

           Beliau berperawakan tinggi, berkulit kecoklatan(adam), dan berjenggot kemerahan. Abu Hurairah(Abdurrahman bin Sakhr al-Dausi) termasuk sahabat yang tergolong miskin dan sering tinggal dipojok serambi Masjid Nabawi(ahli shuffah). Ia pernah diutus Rasul dan Umar bin Khatab ra. ke Bahrain untuk menyebarkan Islam.

            Ada sebuah kisah menarik menyangkut pengutusannya ini. Ketika Umar mengutusnya lagi ke Bahrain, Umar pun segera memberikan bekal padanya sebesar 10.000 dirham. Tetapi Abu Hurairah menampiknya dengan mengatakan, "maukah kau menjadi musuh Allah dan musuh kitab-Nya dengan memberikan harta ini?" Umar menjawab, "Aku tidak mau menjadi musuh Allah dan kitab-Nya, lalu bagaimana dengan kehidupanmu di sana?"

"Aku akan berdagang dan Allah selalu bersamaku"

Maka sepulangnya dari Bahrain abu Hurairah pun segera menemui Umar dan malah menyerahkan uang sekitar 20.000 dirham dari hasil berdagangnya untuk diinfakan ke Baitul Mal. Demikian menunjukkan kezuhudan dan kesederhanaan Abu Hurairah. Ia juga termasuk penuntut ilmu yang rajin dan suka bertanya akan sesuatu hal yang tidak diketahuinya. Gemar menyebarkan ilmunya tersebut kepada orang lain.

            Selain itu, Abu Hurairah juga meriwayatkan dari para sahabat(kibar as-shahabah) diantaranya dari Abu Bakar ra., Umar ra., Ubay bin Ka’ab, Fadhal bin Abbas bin Abdul Muthalib, Usamah bin Zaid, Aisyah ra., dan Ka’ab bin Jabir(tabi’in). Sedang sahabat yang meriwayatkan darinya antara lain: Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Wasilah bin Asqa’, Jabir bin Abdullah al-anshari, dan Abu Ayub al-Anshari. Dan para tabi’in dan orang sesudahnya yang meriwayatkan dari Beliau menurut Bukhari sekitar 800 orang. Selain meriwayatkan, orang-orang tersebut juga menulis hadis dari Beliau. MM. A’zami, pakar hadis kontemporer alumni Azhar dan Cambrigde, dalam disertasinya menganalisa dan mengumpulkan sekitar 10 orang yang menulis hadis dari Beliau, disamping tidak menafikan yang lain. Diantaranya Muhammad bin Sirin dan Hamam bin Munabbih. Manuskrip Hamam bin Munabbih dari Abu Hurairah ini ditahkik dan dikomentari oleh Dr. M. Hamidullah dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

            Imam Ahmad dalam Musnad-nya(musnad adalah kitab yang memuat hadis-hadis para sahabat tanpa tercantum topic(maudhu’) hadis tersebut beserta derajatnya) mengetengahkan sekitar 3848 hadis dari Abu Hurairah, meski terjadi pengulangan redaksi. Imam Baqi bin Mukhalid mencatat sekitar 5374 hadis dalam Musnad-nya. Sedang dalam Shahihain, Imam Bukhari dan Muslim bersepakat untuk sekitar 325 hadis. Adapun yang sesuai dengan syarat yang diajukan Bukhari sekitar 93 hadis dan yang sesuai dengan syarat yang diajukan Muslim sekitar 189 hadis.(Ajaj Khatib:2004:431)

            Ibnu al-Madini(tabi’in) mengatakan bahwa jalan periwayatan yang paling valid hingga Abu Hurairah adalah; Hamad bin Zaid dari Ayub dari Muhamamd bin Sirin dari Abu Hurairah. Dan ada sekitar 8 jalan periwayatan yang paling valid lainnya sesuai dengan yang dirangkum oleh Muhadis Syekh Ahmad Muhammad Syakir dari Musnad Abu Hurairah yang merupakan bagian dari kitab al-Musnad-nya Imam Ahmad.

           Abu Hurairah meninggal pada tahun 57 H semasa dengan wafatnya Aisyah ra. menurut pandapat yang paling valid dari Ibnu al-Madini yang diamini oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.

Tuduhan Orientalis dan Semi-Orientalis Terhadap Abu Hurairah ra. serta Otokritik

Abu Hurairah ra. seorang shaabat yang mulia pun tak luput dari fitnah para orientalis dan semi-orientalis. Sahabat yang paling banyak menghafal hadis Rasul saw. ini ingin digugurkan validitasnya oleh mereka. Maka, mereka saling bergantian dalam menghujat, mencemooh, bahkan melemparkan tuduhan yang tidak berdasar sama sekali. Tuduhan-tuduhan(syubhat) itu dapat dikumpulkan menjadi sekitar sepuluh buah oleh Ajaj Khatib dalam bukunya as-Sunnah Qabla al-Tadwin dan ‘Abu Hurairah Rawiyah al-Islam. Seperti Abu Hurairah dan banyaknya hadis yang ia riwayatkan, kenapa bukan Aisyah, istri Nabi saw.? Abu Hurairah dan pemalsuan hadis Nabi saw. Abu Hurairah dan pemihakan terhadap Syiah?(pendukung Ali ra.) Dan apakah betul para sahabat menganggap Abu Hurairah berbohong dan menolak beliau?

            Kenapa Abu Hurairah ra. terkenal menjadi periwayat terbanyak, sedang masa bersinggungannya dengan Rasul hanya sebentar?

Di dalam bukunya ‘Abu Hurairah’, Abdul Husain Syaraf ad-Din menuduh dan menyatakan: "Ini merupakan studi kehidupan seorang sahabat yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Lalu karena ia terlalu banyak meriwayatkannya hingga ‘berlebih-lebihan’. Darinya kemudian para perawi shahih meriwayatkan dalam seluruh musnad mereka. Namun dari mereka juga terlalu banyak meriwayatkan(darinya), sehingga berlebih-lebihan juga. Maka tak ada cara lain bagi kita dihadapan "sikap dualisme yang berlebih-lebihan ini", kecuali harus dicari asalnya karena secara langsung ia berkaitan dengan kehidupan keberagaman kita dan rasionalitas. Jika hal itu tidak kita lakukan, berarti kita telah melampaui batas dan melewatkan sumbernya kepada hal yang tidak penting bagi kita; yang mengganggu pemandangan kritis terhadapnya"(Ajaj Khatib:1982: 160)

            Di sini kita melihat bahwa Abdul Husain menuduh Abu Hurairah sebagai orang yang terlalu berlebih-lebihan dalam meriwayatkan hadis Nabi saw. Memang dari sekian sahabat Abu Hurairahlah yang terbanyak meriwayatkan hadis. Sejak kehadirannya dari Yaman ke Madinah al-Munawwarah, beliau memang tidak pernah meninggalkan Nabi saw. Bahkan beliau memakan makanan yang dimakan oleh Nabi saw. Selang beberapa tahun saja, ia mampu menghafal sekitar 5.374 hadis Nabi saw. Namun, bukan berarti ia sembarangan dalam menghafal sekian banyak hadis tersebut. Setidaknya ada 5 faktor yang menyebabkan beliau mampu menghafal banyak hadis Nabi saw.:

1. Ia senantiasa mengikuti Nabi saw., baik ketika Rasul bepergian maupun ketika menetap(tidak keluar) dan Abu Hurairah tidak memiliki pekerjaan selain bergelut dengan Nabi saw. Sebuah riwayat dari Sa’ad bin al-Musayyab bahwa Abu Hurairah berkata:"Mereka mengatakan bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadis, demi Allah, tunggulah saatnya. Mereka juga berkata:"Kenapa orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan hadis seperti hadis-hadis yang diriwayatkannya? Aku akan memberitahukan kepada kalian(kata Abu Hurairah). Para sahabatku dari kaum Anshar, mereka sibuk mengurusi tanah-tanah mereka, sedang sahabat-sahabatku dari kaum Muhajirin , mereka sibuk berdagang. Dan aku senantiasa menemani Nabi saw. untuk memenuhi perutku. Jadi aku dapat melihat jika mereka tidak berada dekat Nabi saw. dan aku hafal jika mereka lupa. Suatu ketika Nabi saw. bersabda: "Siapa diantara kalian yang merentangkan pakaiannya dan mengambil perkataanku ini kemudian dikumpulkannya di dadanya, maka ia tidak akan lupa selama-lamanya. Kemudian aku merentangkan ‘sorbanku’ sampai Rasulullah saw. selesai berkata-kata, lalu ku kumpulkan(aku taruh sorban itu) ke dadaku, sehingga aku tidak lupa sedikit pun perkataan yang diucapkan Nabi saw. kepadaku hari itu. Kalau bukan karena dua ayat yang diturunkan oleh Allah di dalam kitab-Nya, aku tidak akan menceritakan apapun selamanya,(yaitu ayat Quran) "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan(yang jelas dan petunjuk), setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat. Kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan(kebencian), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Panerima taubat lagi Maha Penyayang".

2. Kecerdasannya, cintanya pada ilmu pengetahuan dan ketekunannya terhadap hadis. Abu Hurairah ra. memang diberikan kecerdasan alami oleh Allah Swt. Sehingga apa yang dihafalnya tidak lupa. Selain itu, beliau pernah berdoa agar ilmunya tidak mudah dilupakan. Ibnu Hajar dalam biografinya tentang Abu Hurairah ra. menyebutkan sebuah riwayat bahwa seorang laki-laki datang menghadap Zaid bin Tsabit ra. dan bertanya kepadanya. Zaid berkata kepadanya:"Datanglah engkau kepada Abu Hurairah". Aku,(kata Zaid), ketika berada dengan Abu Hurairah dan si fulan di dalam masjid untuk berdoa dan berdzikir kepada Allah, tiba-tiba datang kepada kami Rasulullah saw. Segera Ia duduk dengan kami. Kemudian kami berhenti sebentar. Lalu beliau bersabda:"Lanjutkanlah apa yang kalian lakukan tadi". Kemudian Zaid berkata:"Maka, aku dan kawanku itu berdoa dan Rasulullah saw. mengaminkannya." Kemudian Abu Hurairah ra. berdoa:"Ya Allah aku memohon kepada-Mu seperti apa yang dipinta oleh kedua kawanku tadi, dan aku memohon satu ilmu yang tidak dilupakan". Lalu Nabi bersabda:"Amin!" Lalu kami berkata:"Kami juga memohon ilmu yang tidak dilupakan". Nabi saw. bersabda:"Kalian telah didahului oleh ‘Anak Dusi ini’(yaitu Abu Hurairah yang berasal dari suku Dausi)

3. Abu Hurairah mengetahui banyak para sahabat senior, mengambil riwayat apa yang tidak sempat didengarnya dari Rasul saw. seperti yang dibahas dan disinggung di atas. Sehingga dia dapat merengkuh segala yang telah lalu darinya, selain juga meluaskan khazanah riwayatnya.

4. Abu Hurairah ra. memiliki usia yang panjang setelah wafatnya Nabi saw. selama sekitar 47 tahun. Selama itu pula ia menyebarkan hadis kepada manusia, dan tidak ada kegiatan apapun yang menghalanginya. Dan orang-orang bersaksi ketika ia menyebarkan hadis kepada mereka setelah wafatnya Nabi saw. bahwa ia memang mendengarnya dari Nabi saw. atas apa yang mereka tidak dengar. Dari Malik bin Abu Amir ia berkata: "Seorang laki-laki datang menemui Thalhah bin Ubaidillah, lalu berkata:"Hai Abu Muhammad, bagaimana menurutmu si Yaman ini(maksudnya Abu Hurairah), dia lebih tahu tentang hadis Rasulullah dari kalian? Kami mendengar dari mereka apa yang tidak kami dengar dari kalian , atau dia berkata-kata atas nama Rasulullah saw. dengan apa yang tidak dikatakannya. Lalu Thalhah berkata:"Bisa jadi ia mendengar dari Rasulullah saw. apa yang tidak kami(kita) dengar, maka aku tidak meragukannya. Memang dia telah mendengar dari Rasulullah saw. apa yang tidak kami dengar. Karena dia itu miskin, tidak punya apa-apa, tamu Rasulullah saw., tangannya bersama Rasulullah, sedang kami adalah orang-orang yang memiliki rumah juga kaya. Dan kami mendatangi Rasulullah di akhir hari(sore) saja, maka tidak diragukan dia telah mendengar dari Rasulullah apa yang tidak kami dengar. Dan kami tidak menemukan seseorang yang memiliki kebaikan mengatakan atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan".

                Menurut Abu Isa at-Tirmidzi ini adalah hadis hasan gharib, kita tidak mengetahuinya kecuali lewat jalur hadis Muhammad bin Ishak. Hadis ini juga telah dikeluarkan oleh Imam al-Hakim, dan dia berkomentar bahwa hadis ini adalah shahih berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Imam Dzahabi berkata:"hadis ini shahih berdasar syarat Muslim."

                Masalah yang sangat menonjol memang dari diri Abu Hurairah ra. adalah kekuatan hafalan dan daya ingatnya. Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa ketika ia baru memeluk Islam hafalannya tidak begitu baik. Kemudian ia mengadukannya kepada Rasulullah. Nabi saw. pun bersabda padanya:"Iftah kisa’aka fabaasithhu"(buka pakaianmu dan rentangkanlah). Kemudian Nabi saw. berkata lagi kepadanya:"Dhummahu ila shadrika"(Lalu dekaplah pakaian itu). Kemudian ia mendekap pakaiannya tersebut. Setelah itu ia tidak lupa satu hadispun.

                Kisah merentangkan pakaian tersebut banyak dikeluarkan oleh para Imam hadis seperti Bukhari, Muslim, Imam Ahmad, an-Nasa’i, Abu Ya’la al-Musoli dan Abu Nu’aim dalam Hilliyah Auliya’-nya. Dan klaim Goldziher bahwa kisah tersebut ‘palsu’ yang dibuat oleh orang awam sebagai legitimasi atas banyaknya hadis Abu Hurairah ra. merupakan ‘rekaan belaka’, ‘takhayul’, yang tidak dapat diterima oleh ilmu dan fanatisme yang ‘diwahyukan’ oleh ‘kelaliman Yahudi’ terhadap seorang sahabat besar; yang banyak meriwayatkan hadis Rasulullah saw. Saya tidak tahu, kata Dr. as-Sibai, apa dalil-dalil ilmiahnya yang menyatakan bahwa kisah-kisah tersebut dibuat-buat. Apakah dia menemukan teks-teks historis yang mendukung klaim tersebut, sampai dia mendustakan para Imam Hadis yang menukil(meriwayatkan) kisah tersebut dan men-tsiqah-kan para rawinya?(as-Siba’i:36)

                Padahal para sahabat dan tabi’in telah mengakui keunggulan Abu Hurairah ra., sebagaimana riwayat pengakuan Thalhah tadi. Selain itu Ibnu Umar ra. menyatakan:"Abu Hurairah khairun minni wa a’lamu bimaa yuhadditsu"(Abu Hurairah lebih baik dan lebih tahu dari aku tentang apa yang dia katakan(hadis))

                Imam Syafi’i berkomentar:"Abu Hurairah ahfazhu man rawa’l-haditsa fi dahrihi"(Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal diantara orang-orang yang meriwayatkan hadis di zamannya). Imam Bukhari pun mengakui bahwa dia (Abu Hurairah) adalah orang yang paling hafal diantara orang-orang yang meriwayatkan hadis di masanya. Pengakuan serupa datang dari al Hakim(pemilik al-Mustadrak ‘Ala Shahihain), Abu Sa’ad bin Abu al-Hasan al-Bashri(saudara Hasan al-Bashri, tabi’in masyhur) dan Ibnu Hajar(pemilik Fath al-Bari ) yang setelah memaparkan kisah perentangan pakaian tadi berkata:"Wa al-haditsu al-madzkuru min ‘alamati an-Nubuwwah, fainna Aba Hurairah kana ahfazha an-nasi li’lahaadits an-Nabawiyyah fi ‘ashrihi"(Hadis itu merupakan salah satu ciri kenabian. Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal terhadap hadis-hadis Nabi saw.)

5. Tidak diragukan bahwa kelebihan yang dikaruniakan kepada mereka kaum Arab adalah kekuatan hafalannya. Begitu juga dengan Abu Hurairah ra. dan sahabat lain. Bagaimana Aisyah mampu menghafal banyak syair Arab Jahiliyyah yang begitu banyak. Bagaimana Abu Bakar ra. mampu menghafal nasab keturunan nenek moyangnya. Lalu bagaimana dengan kekuatan hafalan Ibnu Abbas ra.(Hibr al-Ummah), penafsir Quran yang handal itu. Saya(penulis) teringat dengan kuliah beberapa waktu yang lalu ketika Dr. Thaha Khulwah(dosen mata kuliah ilmu riwayat wa Jarh wa Ta’dil) menceritakan tentang gurunya, seorang ulama Azhar sekitar tahun 1960-an, yaitu Syekh Ali Ahmadain yang mengarang kitab Dhui’ al-Qamar ‘Ala Nukhbah al-Fikr(sebuah komentar atas kitab teori Musthalah Hadis-nya Ibnu Hajar). Ia mampu menghafal seluruh nama muridnya yang berjumlah sekitar 130-an dalam kelas kuliahnya. Nama-nama mereka beliau hafal dalam perjumpaan kelas pertama awal kuliah.

                Maka, apa yang diklaim oleh Goldziher sebenarnya klaim yang berasal dari hati yang busuk dan tidak memiliki dasar. Sehingga ia melontarkan hal yang bukan-bukan kepada para tokoh ahli hadis seperti Abu Hurairah ra., Imam az-Zuhri, Imam Bukhari, Muslim, , juga Imam Ahmad. Seandainya usahanya ini berhasil mendapat respon besar dari umat Islam, maka gugurlah seluruh validitas para Imam besar tersebut. Pada gilirannya, seluruh riwayat yang berasal dari para Imam tersebut layak untuk diragukan dan dipertanyakan. Tapi nyatanya tidak demikian. Sebab dasar Goldziher merupakan tujuan tendensius untuk menghancurkan Islam, maka usahanya berakhir amburadul.




Abu Hurairah ra. tidak menulis hadis?

Tema ini adalah kesekian tema dari apa yang dilontarkan oleh para orientalis. Juga termasuk dari 5 tuduhan yang dilontarkan oleh Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam kepada Abu Hurairah.ra., 5 tuduhan tersebut adalah; Pertama, sebagian sahabat-seperti Ibnu abbas dan aisyah-menolak hadisnya dan mendustakannya. Kedua, dia tidak menulis hadis. Ketiga, dia tidak hanya meriwayatkan dari apa yang ia dengar dari Rasul saw., namun ia juga meriwayatkan dari selain Nabi. Keempat, sebagian sahabat banyak mengkritik dan meragukan kejujurannya. Kelima, mazhab Hanafi(al-Hanafiyah) meninggalkan hadis yang diriwayatkannya jika berkontradiksi dengan qiyas(analogi). Keeenam, para penulis hadis palsu memanfaatkan banyaknya periwayatan hadis Abu Hurairah, kemudian mereka berkata dusta terhadapnya melalui banyak hadis yang tak terhitung jumlahnya. Namun kita hanya akan menaggapi tema yang kedua seputar Abu Hurairah dan penulisan hadis. Tema ini juga akan menjawab pertanyaan kenapa ia tidak pernah diriwayatkan sebagai sekretaris Nabi saw.

           Awal problem ini muncul dari riwayat Abu Hurairah, dimana ia berkata: "Tidak ada seorangpun yang mengetahui hadis Nabi saw. yang kuriwayatkan, kecuali orang yang menerima hadis dari Abdullah bin Amr, sebab ia menulis dengan tangannya sendiri dan menghafalnya, sedang saya hanya menghafal saja dan tidak menulis".(Musnad Imam Ahmad:2:403, Shahih al-Bukhari:kitab al-‘ilm:39). Abdullah bin Amr  juga mengatakan bahwa Abu Hurairah tidak menyimpan buku-buku hadis dan juga tidak menulisnya.

           Tetapi pada masa-masa belakangan Abu Hurairah menuturkan bahwa beliau mempunyai kitab-kitab Hadis. Seperti dalam riwayat kisah yang diriwayatkan oleh al-Fadhl bin Amr bin Umayyah al-Dhamri, ia diberitahu ayahnya; kata ayahnya, "Saya membicarakan suatu hadis dengan Abu Hurairah, tetapi Abu Hurairah memungkiri hadis itu. Saya katakan hadis ini saya dengar dari anda. Jawab Abu Hurairah, "Bila kamu mendengarnya dari saya pasti hal itu tertulis dalam kitabku". Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku menuju kamarnya, sayapun ditunjukkan kitab-kitab yang banyak jumlahnya yang berisi hadis-hadis rasulullah saw.. Dan ternyata benar. Hadis tersebut ternyata ditemui dalam kitabnya. Lalu beliau berkata lagi, "Sudah saya katakan, saya pernah menyampaikan hadis itu kepadamu, maka hal itu akan terdapat(tertulis) di sini". Tetapi Imam Dzahabi dan Ibnu Abd- al-Barr membantah keshahihan riwayat ini. Sebab bertentangan dengan riwayat di atas dan hanya Abdulah bin Amr yang menulis hadis. Dan menurut para ahli hadis, riwayat yang pertama tentang tidak menulisnya Abu Hurairah lebih shahih. (Jami al Bayan:1:74), Fath al-Bari:1"215 dikutip MM A’zami:1980:138).

            Sebenarnya tidak ada kontradiksi antara dua riwayat tersebut, tetapi dapat dikompromikan. Sebab Abdullah bin Amr menulis hadis di hadapan Nabi saw. semasa hidupnya, sedang Abu Hurairah pada saat itu tidak menulis hadis. Maka mungkin sekali Abu Hurairah menulis hadis pada masa belakangan kemudian disimpannya.(Ibid., 138). Pendapat ini juga dikuatkan dengan banyaknya shahifah(manuskrip tertulis) yang disandarkan pada Abu Hurairah atau orang-orang yang menulis hadis dari beliau, seperti Abu Shalih bin Samman yang kemudian naskahnya disalin oleh al-‘Amasy(tabiin masyhur), Basyir bin Nahik, Muhammad bin Sirin(tabi’in)dan manuskrip Hammam bin Munabbih yang telah disinggung di atas.

            Adapun bantahan yang diajukan oleh Musthafa as-siba’I, bahwa sebagian ulama lebih mengutamakan riwayat yang seorang rawi menghafalnya tetapi tsiqah dan benar daripada riwayat yang tertulis tapi penuh dengan kesalahan. Hingga ulama Ushul fikih pun jika mendapati dua dalil atau dua hadis yang bertentangan: satunya riwayat yang didengar(masmu’) dan yang lain maktub(tertulis), maka yang masmu’-lah yang lebih dirajihkan. Sebagimana Imam Amidi dalam Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Ditambahkannya, bahwa apa yang dilontarkan oleh semi-orientalis Ahmad Amin dan para orientalis lainnya seperti Schacht dan Goldziher dalam masalah ini adalah purbasangka yang tidak berargumen kuat.(as-Sibai:270-271)

            Kongklusinya, Abu Hurairah lebih mengutamakan hafalan dalam periwayatannya pada masa Nabi dan memungkinkan besar beliau untuk menuliskannya pada masa-masa belakangan setelah Quran dikodifikasikan. Demikian tesis yang diajukan Prof. A'zami. Sebab seperti yang kita ketahui, ia pergi berdakwah keluar Madinah sepeninggal Nabi, menyebarkan Islam, mau tidak mau kemungkinan besar di sini ia akan menuliskan hadis kepada orang atau orang menulis hadis darinya.

            Dan dia tidaklah menjadi sekretaris Nabi, seperti para penulis wahyu lainnya. Sebab tidak ada riwayat dalam hal itu, melainkan riwayat yang menjelaskannya sebagai pelayan(khadim) Rasul. Para penulis wahyu atau sekretaris Nabi seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Abu Hudhaifah, Ubay bin Ka’ab, dll. sekitar 50 sahabat, satupun tidak tergolongkan ke dalam periwayat hadis terbanyak sebagaimana  Abu Hurairah ra., Aisyah ra., Anas bin Malik, dan Abdullah bin Umar. Malah Ibnu Abbas ra.(shighar shahabat, sahabat muda) yang juga tidak menjadi sekretaris Nabi tapi menjadi sahabat yang banyak meriwayatkan hadis sebab persinggungannya yang luas dengan para sahabat yang tua atau besar. Maka, seorang sahabat yang menjadi sekretaris Nabi tidak mengharuskannya sekaligus untuk menjadi periwayat hadis yang banyak. (Untuk jelasnya lihat, MM. A’zami, The History of Quranic Text, From Relevation To Compilation. A Comparatine Study with the Old and New Testament, terjemah dan diterbitkan oleh GIP, 2005)

            Menjadi pembantu Nabi lebih memungkinkan bagi Abu Hurairah untuk memperoleh riwayat hadis yang banyak. Baik itu dari para istri Nabi, terutama Aisyah dan para sahabat lain yang beliau temui bersama Nabi saw. Sampai Aisyah pun menyuruh orang dalam suatu riwayat untuk menanyakan suatu masalah yang ia tidak menahu tentangnya pada Abu Hurairah selain itu juga banyak membenar-kuatkan riwayat darinya.

            Kelebihan beliau ini juga tidaklah terkontaminasi oleh unsur dan permainan sosio-politik. Sebab sebagaimana yang kita ketahui dari riwayat, bahwa ketika fitnah politik pada masa Usman bin affan ra. dan Ali ra., Abu Hurairah menjauh dari peristiwa tersebut dengan malah berdiam di rumah Usman, mengasuh anak beliau yang masih kecil. Anak beliau inilah nantinya yang mengantar jenazah Abu Hurairah menuju pemakamannya di Baqi’, Madinah. Mungkin sebelumnya ia telah mengetahui hadis dari Nabi saw. yang berbunyi:"Satakunu fitan, al-qa’id fiiha khairun min al-qa’im"(akan datang fitnah pecah belah itu, ia yang duduk berdiam lebih baik dari mereka yang berbaur didalamnya). (Ajaj Khatib:418 menukil riwayat dari Siyar A’lam Nubala Imam Dzahabi:2:441))

Epilog.

            Demikian sedikit ulasan dan pembacaan penulis terhadap Abu Hurairah ra. dan sekitar problematika yang dilontarkan mereka para orientalis dan murid-muridnya seputarnya. Tema-tema lain seputarnya mungkin bisa dibahas di lain kesempatan. Sebab kita mau ujian semesteran. Maka kritik dan saran sangat dinanti, hingga konstruksi tulisan ini lebih kuat dan lebih kaya lagi. WallAhu a’lam bi al-Shawwab.


(Bagi para pengunjung yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan sertakan nama penulis pada tulisan anda).